Oleh: Dr Muhammad Ardiansyah
HUJJATUL ISLAM | RAMADHAN dikenal sebagai bulan ibadah (Syahr al-‘ibâdah). Lebih khusus lagi dikenal dengan bulan puasa (Syahr al-shiyâm). Ini bukan berarti bulan lain kosong dari ibadah dan tidak ada puasa. Inilah diantara keistimewaan bulan Ramadhan. Di bulan ini, umat Islam berpuasa secara berjama‘ah dan mengerjakan rangkaian ibadah yang tidak ada di bulan lainnya.
RAMADHAN juga dikenal sebagai bulan perjuangan melawan hawa nafsu. Satu perjuangan besar yang harus dijalani umat Islam selama satu bulan. Perjuangan menghadapi musuh yang sangat dekat dengan manusia, namun tidak tampak di hadapan mata. Selama satu bulan umat Islam diuji melawan hawa nafsunya siang dan malam. Orang yang menang akan menjadi hamba Allah SWT, orang yang kalah akan menjadi hamba nafsunya.
RAMADHAN juga dikenal sebagai bulan dimana setan dibelenggu. Allah SWT muliakan bulan Ramadhan. Pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu-pintu neraka ditutup rapat. Bulan yang menjadi peluang besar bagi setiap orang yang beriman kepada Allah SWT, untuk meraih kemuliaan. Rugi besar jika di bulan yang mulia ini masih ada yang mengikuti langkah-langkah setan.
Ibadah dan Penghalangnya.
Tugas utama manusia di dunia ini adalah untuk ibadah kepada Allah SWT. (QS al-Dzariyat:56). Baik ibadah wajib atau Sunnah. Ibadah jasadiyyah, qalbiyyah, mâliyyah, fikriyyah, dan sebagainya. Ibadah adalah satu hal yang sangat agung di sisi Allah SWT. Begitu agungnya ibadah, tantangan dan penghalangnya pun sangat banyak. Orang yang berhasil mengalahkan penghalang itu, dia bisa beribadah. Sebaliknya, jika kalah, maka dia akan gagal untuk beribadah. Menurut Imam al-Ghazali, ada empat penghalang ibadah, yaitu dunia (al-dunya), manusia (al-khalq), setan (al-syaithan), dan nafsu (al-nafsu). Dari keempat penghalang ini, nafsu adalah penghalang terberat. (Imam al-Ghazali, Minhâj al-‘Ābidîn, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2021. hlm. 39).
Mengapa nafsu ini dianggap sebagai penghalang terberat dalam beribadah? Ada empat alasan yang dikemukakan Imam al-Ghazali tentang dahsyatnya nafsu itu. Pertama, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari nafsu. Kedua, manusia tidak bisa memaksa dan menaklukkan nafsu dengan sekali saja. Ketiga, nafsu itu adalah kendaraan dan alat yang dibutuhkan manusia. Keempat, nafsu memang tidak pernah cocok dengan segala bentuk ibadah yang dituju oleh manusia. Ini karena karakter asli nafsu itu memang selalu bertentangan dengan kebaikan dan menjadi musuhnya. (Ibid). Solusinya menurut Sang Hujjatul Islam adalah dengan mengekang nafsu dengan tali kekang takwa (lijâm al-taqwa). Tujuannya, agar nafsu itu tetap ada, namun tunduk dan tidak melampaui batas. Sehingga dia bisa menggunakan nafsu itu untuk berbagai kebaikan, dan mencegah nafsu dari berbagai kebinasaan. (Ibid, hlm. 39-40).
Jalan untuk mencapai takwa itu diantaranya melalui puasa, khususnya puasa Ramadhan. Menurut Imam al-Ghazali, puasa ini memiliki dua keistimewaan. Pertama, puasa ini adalah sikap menahan diri. Ini amalan yang bersifat rahasia yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Kedua, puasa adalah untuk menaklukan musuh Allah, yaitu setan. Musuh Allah ini tidak akan kuat kecuali melalui perantara syahwat. Maka lapar karena puasa akan melemahkan setan ini (Imam al-Ghazali, al-Arba‘în fî Ushûliddîn, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2019. hlm. 109-110). Jadi, puasa adalah perjuangan untuk di jalan Allah. Oleh karena itu, menurut Imam al-Ghazali, orang yang berjuang di jalan Allah akan diberi pertolongan oleh Allah SWT dan akan ditunjukkan jalan-jalan yang dirihai-Nya. (Imam al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2021, Juz, II, hlm. 100).
Perjuangan Melawan Hawa Nafsu
Ketika berhadapan dengan hawa nafsu, kondisi manusia berbeda-beda. Menurut Imam al-Ghazali, ada tiga kondisi manusia ketika berjuang melawan hawa nafsunya. Pertama, orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya dan tidak mempu melawannya. Kondisi ini menimpa kebanyakan manusia. Akhirnya orang semacam ini akan menjadi budak hawa nafsunya (afara’ayta man ittakhadza ilâhahû hawâhu). Kedua, pertarungan antara dirinya dengan hawa nafsunya itu silih berganti. Ada kalanya dia menang melawan hawa nafsunya, ada kalanya kalah. Menurut Imam al-Ghazali, orang semacam ini adalah pejuang. Bahkan menurutnya, jika orang itu mati dalam keadaan seperti ini, dia termasuk golongan yang mati syahid (min al-syuhadâ’). Mengapa? Karena orang itu sedang mengamalkan sabda Nabi Muhammad SAW “Perangilah hawa nafsumu, sebagaimana kamu memerangi musuh-musuhmu”. Kondisi ini termasuk kondisi yang baik di bawah kedudukan para nabi dan para wali. Ketiga, orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya, bahkan menguasainya. Kondisi ini adalah yang dirasakan oleh para nabi dan para wali Allah. (Imam al-Ghazali, Mîzân al-‘Amal, Jeddah:Dar al-Minhaj, 2020. hlm. 119-121).
Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan dalam berjuang melawan hawa nafsu ini. Untuk mencapai kondisi selalu menang seperti para nabi dan wali mungkin terlalu berat. Oleh karena itu setidaknya mesti diupayakan agar masuk kondisi para pejuang, yang tak kenal lelah melawan hawa nafsunya. Bukan menjadi pecundang yang menjadi budak hawa nafsunya.
Belenggu Setan
Dalam satu Hadits Nabi Muhammad SAW bersabda “Apabila datang bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu setan-setan” (HR al-Bukhari dan Muslim). Apa maksud dari setan dibelenggu itu? Untuk memahami Hadits ini, perlu dikaitkan dengan Hadits yang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda “Sesungguhnya setan berjalan di tubuh anak Adam seperti aliran darah.” (HR Abu Daud dan al-Tirmidzi). Tentang Hadits ini, Imam al-Ghazali pernah ditanya oleh muridnya, al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Kemudian al-Ghazali menjawab bahwa “Hadits ini adalah isyarat tentang berjalannya pengaruh setan di seluruh tubuh manusia sebagaimana aliran darah berjalan dan mengalir di seluruh tubuh. Bukan maksudnya bahwa fisik setan itu seperti fisik manusia seperti persenyawaan air dengan air.” (Imam al-Ghazali, al-Qânûn al-Kullî, Kairo: Dar al-Salam, 2013. hlm. 79-80).
Dalam karya monumentalnya, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan Hadits ini. Menurutnya, “Ini karena lapar itu akan menghancurkan syahwat, sedangkan tempat jalannya setan itu melalui syahwat.” (Imam al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2021, Juz, V, hlm.106). Dalam bab yang lain Imam al-Ghazali juga mengingatkan “Janganlah kamu menyangka bahwa hati yang kosong dapat terbebas dari setan. Justru setan itu mengalir ke dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Mengalirnya setan itu seperti udara pada satu wadah. Jika engkau menghendaki agar wadah itu kosong dari udara, tanpa mengisinya dengan air atau benda lainnya, berarti engkau mengharapkan sesuatu yang sia-sia. Sesuai kadar kosongnya wadah itu dari air, maka udara itu akan masuk, tidak akan bisa ditahan. Begitu juga hati yang sibuk dengan pikiran yang penting tentang agamanya, niscaya dia akan terbebas dari setan. Jika tidak, seperti orang yang lalai dari mengingat Allah Ta‘ala, meski sekejap saja, maka tidak ada yang menemaninya dalam sekejap itu pun selain setan.” (Imam al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2021, Juz, VII, hlm. 256).
Bahkan menurutnya, selama hati manusia masih dikuasai oleh setan, selama itu pula dirinya akan terhijab dari menyaksikan keindahan kekuasaan Allah SWT. Imam al-Ghazali mengutip satu Hadits yang menguatkan pandangannya “Seandainya setan-setan itu tidak mengelilingi hati Bani Adam, niscaya mereka akan melihat indahnya kerajaan langit” ((Imam al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2021, Juz, II, hlm. 100). Singkatnya, Ramadhan bisa menjadi momen terbaik bagi seseorang untuk meraih kemuliaan di sisi Allah. Itu jika dia memperbanyak ibadah dan memperkuat ketakwaannya. Sebaliknya, Ramadhan bisa menjadi awal kehinaan seseorang, jika dia tetap menuruti hawa nafsunya dan terus mengikuti langkah-langkah setan. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Pembina RUHI