(Menyusuri Keilmuan Imam al-Ghazali dalam Bidang Tafsir, Hadits, Kalam, Fiqh, Ushul Fiqih, Falsafah, Mantiq, Politik, Tasawwuf, serta Pendidikan)
Oleh: Nabil Abdurrahman
قال أسعد المهني : لا يصل إلى معرفة علم الغزالي، وفضله إلا من بلغ ، أو كاد ) يبلغ الكمال في عقله
HUJJATUL ISLAM | “Tidak akan mampu mengenal al-Ghazali maupun keutamaan ilmunya dengan sempurna, kecuali bagi seorang yang setara — atau sekurangnya hampir setara — dengan ilmu maupun kecerdasan Imam al-Ghazali” (at-Thabaqat asy-Syafi’iyyah).
Pengakuan demikian tentu amat berdasar. Diantaranya, lantaran kedalaman pemahaman serta luasnya disiplin ilmu yang Imam al-Ghazali kuasai. Lahir di Thus, Iran, sanad sang Hujjatul Islam tersambung dengan para ulama besar di Nisabur maupun Baghdad. Menariknya bahkan dengan kecerdasan pada masa mudanya sekalipun, al-Ghazali muda bermulazamah kepada Imam al-Haramain selama bertahun-tahun.
Maka dengan kecerdasan dan keberkahannya tersebut, otoritas Imam al-Ghazali terdapat pada multi-disiplin keilmuan. Meskipun dirinya wafat pada usia muda, 55 tahun, karya-nya dalam tiap disiplin tersebut tetap hidup dan terus dikaji hingga hari ini.
(1/6/2025) Dr. Muhammad Ardiansyah mengangkat bagaimana keulamaan Imam al-Ghazali dalam berbagai bidang, telah menjadikannya sebagai — tokoh yang layak disematkan padanya — “Mujtahid Pendidik, Mujaddid Ensiklopedik”. Dalam Special Lecture, yang diselenggarakan oleh Institute for Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta.
…
(1). Dalam ilmu Tafsir, terdapat riwayat yang menyebutkan kitab Tafsir karya al-Ghazali yang berjumlah 40 jilid. Selain itu, terdapat pula kitab karyanya, Jawaahirul Qur’an, yang diakui sebagai tafsir al-Qur’an terawal yang disusun secara tematis.
(2). Sebagai seorang ulama multi-disipliner, Imam al-Ghazali tentu menguasai ilmu hadits. Meskipun hingga hari ini, masih terdapat kritik terhadap pemahaman al-Ghazali dalam ilmu hadits. Salah satunya, lantaran banyaknya jumlah hadits yang dicantumkan al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin. Bahkan ada pula yang disebabkan salah paham terhadap pengakuan Imam al-Ghazali akan sedikitnya ilmu hadits yang ia kuasai.
Terkait jumlah hadits dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh mencatat terdapat 4848 hadits di dalamnya. Dengan kuantitas melebihi jumlah hadits dalam Sunan Abi Daud, Ihya ‘Ulumiddin seringkali dituduh sebagai gudang hadits palsu. Namun menurut penelusuran Imam al-Iraqi, hanya sekitar 300 hadits dalam kitab tersebut yang belum ditemukan sanadnya. Bahkan setelah dikaji kembali oleh Ulama hari ini, Syaikh Anas asy-Syarfawi menemukan bahwa hadits yang belum ditemukan sanadnya berjumlah tidak sampai 20.
Adapun pengakuan Imam al-Ghazali terkait sedikitnya ilmu hadits yang ia miliki, memang benar terdapat dalam kitab Qaanun at-Ta’wiil. Namun perlu digaris-bawahi bahwa pengakuannya tersebut ditujukan sebagai jawaban kepada pertanyaan al-Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-‘Arabi yang dikenal sebagai seorang Ahli Hadits besar pada masanya.
Maka pernyataan tersebut sejatinya merupakan bentuk kerendahan hati sang imam bagi ahli ilmu yang memahaminya. Sebagaimana pernyataan Imam asy-Syafi’i yang mendaku sebagai ahli maksiat dalam syi’ir-nya: “Uhibbus Shaalihina wa lastu minhum; La’alli an anaa labihim syafa’ah. Wa akrahu man bidhaa’atuhul ma’ashi; Wa in kunnaa sawa’an fil bidhaa’ah”. Seorang yang cerdas tentu tidak terburu-buru menganggap imam asy-Syafi’i sebagai seorang yang gemar maksiat. Begitu pun kiranya tidak kemudian gegabah merendahkan otoritas hadits Imam al-Ghazali.
(3). Dalam ilmu aqidah ataupun kalam, Imam al-Ghazali bermadzhab Asya’irah, mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Meski demikian, terdapat pula kritik terhadap beberapa pandangan al-Ghazali dalam ilmu kalam. Hal demikian, diantaranya lantaran al-Ghazali menggunakan metode tasawwuf. Berbeda dengan sebagian pengkritiknya yang menggunakan metode lain yang berdasar pada ungkapan dzahir.
Karya al-Ghazali dalam pembahasan ilmu kalam cukup banyak. Adapun bila ingin mengkaji secara sistematis, dapat mengkaji kitab Qawaaidul ‘Aqaaid, Risalaatul Qudsiyyah, kemudian al-Iqtishaad fil-I’tiqaad. Karya-karya lainnya, terdapat kitab Faishaal at-Tafriqah, al-Maqshad al-Asna fii Syarhi Ma’aani Asmaa al-Husna, Fadhaaih al-Baathiniyyah, dan beberapa lainnya.
Pandangan al-Ghazali dalam kedudukan belajar ilmu kalam amat ketat. Ilmu kalam, menurut al-Ghazali, memiliki keutamaan yang agung, bahkan termasuk di antara ilmu fardhu kifayah. Namun ia peringatkan pula, bahwa ilmu kalam boleh jadi tidak cocok bagi sebagian kalangan. Terdapat syarat yang perlu dipenuhi, apabila ingin mengkaji disiplin ilmu ini, sebagaimana penuturan dalam kitabnya, Iljaamul ‘Awaam min ‘Ilmil Kalaam. Pertama; fokus dan memiliki tekad yang kuat. Kedua; cerdas, pintar, dan fashih. Ketiga; shalih, baik agamanya, dan taqwa. Bukan orang yang tunduk pada syahwatnya.
(4). Dalam ilmu fiqih, Imam al-Ghazali menulis beberapa karya. Di antaranya kitab al-Baashith, al-Waashiith, al-Wajiiz, al-Khulashah, dan lainnya.
Diakui sebagai Imam di antara ulama madzhab Syafi’i, pandangannya menjadi rujukan oleh pengkaji fiqih hingga hari ini. Bahkan — menurut para ulama berdasar penuturan Dr. Ardiansyah — tidak sempurna pemahaman fiqih dalam madzhab Syafi’i bagi penuntut ilmu — pada tingkat advance, bila tidak mengkaji kitab-kitab fiqih karya al-Ghazali.
(5). Dalam bidang ushul fiqih, Imam al-Ghazali bahkan telah menulis kitab al-Mankhuul kala masih belajar kepada Imam al-Haramain. Imam al-Haramain, seorang ulama besar dan mu’tamad dalam ushul fiqih, memuji kitab tersebut dengan pernyataannya, “”Kamu (Al-Ghazali) telah menguburku padahal aku masih hidup. Tidakkah kamu sabar sebentar? Kitab-mu telah mengalahkan kitab-kitabku.” (Siyar A’laam al-Nubalaa’).
Selain kitab al-Mankhuul, al-Ghazali menulis pula kitab Tahdziibul Ushul, juga menyusun kitab al-Mustashfa ketika mendekati akhir hayatnya. Hingga hari ini, kitab al-Mustashfa menjadi salah satu karya utama yang mesti dikuasai bila tengah mengkaji ushul fiqih.
(6). Terkait ilmu falsafah, Imam al-Ghazali merupakan ulama terawal yang menjawab persoalan para filsuf Yunani secara komprehensif. Sebagaimana penuturannya dalam Munqidz Minad Dhalal, al-Ghazali mengkaji dan meneliti kitab-kitab utama karya para filsuf selama sekurangnya tiga tahun. Ia mendalami ilmu filsafat tersebut secara mandiri hingga menulis karya seputarnya, setelah sebelumnya mempelajari dasar-dasar ilmu filsafat kepada Imam al-Haramain. Selain dalam Munqidz Minad Dhalal, pembahasan seputar ilmu filsafat dapat ditelusuri dalam Maqaashid al-Falaasifah, serta Tahaafut al-Falaasifah.
Perlu digaris-bawahi, bahwa al-Ghazali sama sekali tidak membenci ilmu filsafat. Bahkan dalam kitab al-Munqidz, al-Ghazali menyebut, dari tujuh bagian filsafat, hanya filsafat metafisika saja yang perlu dikritisi. Hal yang dicela pun bukan ilmunya — sebagaimana judul Tahaafut al-Falaasifah. Melainkan kritik atas pemikiran beberapa filsuf, yang dianggap telah menyimpang dari syari’at, itu pun hanya tiga yang kemudian dianggap berpotensi menjatuhkan kepada kekufuran.
(7). Mengenai ilmu mantiq sendiri, menurut al-Ghazali, sejatinya dapat juga ditemukan dasar-dasarnya pada karya para ulama sebelumnya, namun dengan istilah yang berbeda (‘ilmu al-Jidaal, al-nadzhar, dan sebagainya). Maka pandangannya dalam ilmu mantiq, al-Ghazali menuturkan bahwa secara umum metode di dalamnya itu benar. Bahkan ilmu mantiq itu penting untuk membedakan yang benar dan salah, serta sebagai neraca bagi setiap ilmu.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan sebagian ulama lain sezamannya, yang menolak ilmu mantiq secara ekstrim. Sedangkan bagi al-Ghazali, ilmu mantiq merupakan instrumen berpikir dalam hal-hal yang rasional. Maka pembahasan ini terutama sekali terdapat dalam kitabnya, Mi’yaarul ‘Ilmi, juga disinggung sebagian pembahasannya dalam al-Iqtishaad fil-I’tiqaad, Maqaashid al-Falaasifah, Mahallu an-Nadzhar, bahkan al-Mustashfa.
(8). Terkait ilmu politik, terdapat karya Imam al-Ghazali berjudul at-Tibrul Masbuuk fii Nashiihatil Muluuk. Di dalamnya, al-Ghazali bukanlah membahas seputar langkah menjadi penguasa ataupun bagaimana agar menjaga kekuasaan. Melainkan ia memperingatkan — menjalankan amr ma’ruf nahy munkar kepada — para penguasa agar memperhatikan keimanan mereka dengan menjaga amanah dalam kepemimpinannya. Sebab, seorang pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban atas rakyat maupun para bawahan yang ia pimpin.
Bahkan dalam penutup kitab Fadhaaih al-Baathiniyyah, al-Ghazali mengingatkan, bahwa di antara kewajiban pemimpin, ialah memperbaiki negerinya dengan memperbaiki keluarga serta dirinya terlebih dahulu.
(9). Diantara berbagai keilmuannya, Imam al-Ghazali merupakan seorang imam dalam ilmu tasawwuf. Sejak kecil, al-Ghazali belajar kepada ulama sufi di Thus, dan memahami dasar-dasar teori tasawwuf padanya. Namun, al-Ghazali sendiri baru menempuh jalan tasawwuf kala ia memilih untuk beruzlah selama sepuluh tahun. Dalam pandangannya, ilmu tasawwuf tidaklah hanya mengkaji teori maupun perkataan para ulama, melainkan mesti ditempuh dengan senantiasa menjaga amal serta keadaan hati.
Pembahasan seputar Tasawwuf, dapat ditemui pada amat banyak karya al-Ghazali. Di antaranya, tentu saja dalam magnum opus dirinya, Ihya ‘Ulumiddin. Tentang jiwa, hati, dan akhlak tersebar pula dala Bidaayat al-Hidaayah, Misykaat al-Anwaar, Minhaaj al-‘Abidin, Kimyaa’ as-Sa’aadah, dan amat banyak lagi lainnya.
(10). Pemikiran pendidikan Imam al-Ghazali, dapat ditemukan di sebagian karya-karyanya. Secara umum irisannya tersebar dalam kitab Miizaanul ‘Amal, ataupun Bidaayatul Hidaayah. Lebih jauh, pembahasan mengenai ilmu maupun pendidikan terdapat dalam kitab Faatihatul ‘Uluum. Adapun secara khusus mengenai pendidikan anak dan perbaikan akhlak, al-Ghazali mengulasnya dalam bagian akhir kitab ‘Ajaaibul Qalb, Ihya ‘Ulumiddin.
Di antara buku hari ini, terdapat kitab Jawaahirul Kalaam min Aqwaali Hujjatil Islaam, karya Dr. Muhammad Ardiansyah sendiri, berupa nukilan daripada Imam al-Ghazali seputar ilmu, penuntut ilmu, maupun pendidikan, dalam susunan yang tematis.
…
Imam al-Ghazali sebagai ensiklopedik dalam Islam bukanlah satu-satunya. Sebab para ulama sejak dahulu memang tidak ada yang mengkaji ilmu secara linier. Dalam tradisi keilmuan Islam, antara satu bidang ilmu dan lainnya amat berkaitan. Tidak akan mampu memutuskan satu hukum fiqih, misalnya, bila tidak menguasai ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul Hadits, ushul fiqih, balaghah, dan lainnya. Begitu pun dengan disiplin ilmu-ilmu lain. Seorang yang menempuh bidang tasawwuf tidak bisa kemudian melepaskan diri dari ikatan syari’at serta tuntutan pemahaman aqidah yang benar.
Membangun otoritas keilmuan dalam satu bidang tertentu sejatinya memang baik. Namun meninggalkan disiplin ilmu-ilmu lain sama sekali, bahkan buta dalam ilmu fardhu ‘ain merupakan bentuk hilangnya adab (loss of adab) dalam menuntut ilmu. Lebih jauh tentu akan membawa kepada kekacauan ilmu (confusion of knowledge).
Wallahu a’lam bish-shawaab.
