




Oleh: Robiansyah M.Si.
Dosen Universitas Mulawarman, Samarinda
HUJJATUL ISLAM | Terkadang, dan bahkan seringkali, saya mengikuti kajian dalam kondisi yang jauh dari ideal. Antara kantuk yang tak tertahan dan kelelahan yang tak bisa diajak kompromi, saya hanya bisa duduk pasif menyimak sambil terus berjuang melawan rasa ingin rebahan. Namun, entah mengapa, hati ini tetap ingin hadir, tetap ingin terhubung dengan majelis ilmu—meski kadang hanya dengan setengah sadar dan telinga yang berusaha fokus menyerap hikmah.
Pagi Bersama Asmaul Husna
Pagi ini pun saya kembali mengikuti kajian online rutin yang hadir setiap sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Kitab yang kami pelajari adalah Maqashidul Asna fi Syarh Asma’illah al-Husna, karya agung Imam al-Ghazali. Sejak empat tahun lalu, kajian ini dibimbing oleh al-Ustadz Dr. Muhammad Ardiansyah, seorang guru yang tidak hanya menyampaikan isi kitab, tetapi juga menghadirkan kedalaman makna dan refleksi kehidupan.
Tahun ini, kami sampai pada pembahasan nama Allah al-Hafizh. Dari total 99 Asmaul Husna, baru sekitar 30-an nama yang berhasil dikaji cukup mendalam. Artinya, masih ada lebih dari 60 nama yang belum dibahas. Jika laju kajian tetap rata-rata sepuluh nama per tahun, maka perjalanan ini akan memakan waktu sekitar enam tahun lagi. Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa kita masih akan punya waktu selama itu?
Anehnya, saya tidak merasa terbebani oleh hitungan tersebut. Justru tumbuh rasa harap—agar Allah terus memberi kesempatan untuk hadir, untuk menyimak, dan untuk menyerap makna di balik setiap nama-Nya. Ada syukur yang terus tumbuh, karena meskipun belum optimal, saya masih diberi kemauan untuk melanjutkan perjalanan ini.
Ngaji Ihya: Perlahan Tapi Membekas
Demikian pula dengan kajian malam hari. Terkadang, saya mengikuti sesi dalam kondisi fisik yang sudah melewati batas. Mata lelah, tubuh menuntut istirahat, namun hati tetap ingin terhubung dengan ilmu. Maka saya tetap membuka Zoom, memasang headset, dan berusaha menangkap setiap kalimat dengan penuh kesungguhan.
Selain kajian Asmaul Husna, di luar Ramadhan saya juga mengikuti kajian kitab Ihya Ulumiddin—karya monumental Imam al-Ghazali yang menyelami aspek lahir dan batin kehidupan seorang Muslim yang sedang berjalan menuju Allah. Kajian ini berlangsung setiap Senin malam, dan sudah berjalan selama empat tahun juga bersama Ustadz Ardiansyah.
Hingga saat ini, baru empat kitab yang tuntas dibahas. Sementara keseluruhan Ihya terdiri dari 40 kitab. Jika konsistensi ini bertahan, maka masih diperlukan sekitar 36 tahun lagi untuk menuntaskan seluruhnya. Angka yang tidak kecil, bahkan mungkin di luar jangkauan usia sebagian dari kami.
Namun anehnya, tidak ada rasa terburu-buru. Kajian ini bukan sekadar mengejar tamat, tetapi membangun pemahaman yang dalam. Pesertanya datang dari berbagai daerah, bahkan lintas negara. Beberapa dari kami bahkan tidak saling mengenal, namun disatukan oleh satu niat: belajar dan bertumbuh di jalan ilmu.
Bukan Sekadar Tamat
Dalam satu sesi, Ustadz Ardi menyampaikan nasihat yang begitu menyentuh:
“Kita niatkan saja ngaji ini untuk khatam. Urusan umur sampai atau tidak, itu bukan wilayah kita. Kalau pun tidak sampai, semoga kita termasuk dalam sabda Nabi: niyyat al-mu’min khayrun min ‘amalihi—niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.”
Nasihat ini begitu menancap di hati saya. Betapa niat memiliki kekuatan besar untuk mengarahkan langkah, bahkan ketika hasil belum tampak. Banyak orang mungkin bertanya, apa gunanya belajar jika tidak sampai tuntas? Tapi dalam pandangan iman, niat itu sendiri sudah menjadi nilai yang tak ternilai. Niat adalah penanda kesungguhan, bahkan ketika tenaga dan waktu tak lagi memungkinkan.
Saya pun merenung, bahwa hidup bukan soal siapa yang paling cepat selesai, tetapi siapa yang paling konsisten dalam melangkah. Bukan tentang siapa yang paling banyak hafal, tetapi siapa yang hatinya paling tekun menjaga niat.
Umur Panjang, Amal Panjang
Sejak pandemi melanda empat tahun lalu, saya mulai terbiasa mengikuti kajian secara online. Awalnya hanya sebagai alternatif dari kejenuhan dan ketidakpastian. Namun seiring waktu, kajian ini menjadi kebutuhan batin. Setiap sesi membawa ketenangan, membangun harapan, dan memperbaharui arah hidup.
Ustadz Ardi kerap mengingatkan bahwa menuntut ilmu tidak mengenal usia. Tholabul ‘ilmi adalah kewajiban seumur hidup bagi setiap Muslim. Hasil pemahaman (tahshilul ‘ilmi) setiap orang bisa berbeda, tetapi selama niatnya lurus, Allah akan memberikan keberkahan dari ilmu tersebut.
Beliau juga menekankan bahwa kita tidak hanya perlu mengejar kuantitas ilmu, tetapi lebih dari itu—kita harus memohon barokatul ‘ilmi, keberkahan dari ilmu. Ilmu yang bisa diamalkan, diajarkan, dan menjadi pahala jariyah. Di sinilah letak keindahan dari niat khatam: meskipun belum semua selesai, selama niatnya benar dan langkahnya istiqomah, maka pahala amalnya tetap mengalir.
Tetap Belajar, Tetap Melangkah
Tulisan ini bukanlah ajakan untuk merasa paling semangat atau paling giat. Saya pun masih jauh dari konsisten. Banyak hari di mana saya tertinggal, banyak sesi yang saya ikuti dengan fokus yang goyah. Tapi saya menulis ini sebagai pengingat pribadi—dan jika Allah mengizinkan—juga sebagai penyemangat bagi siapa saja yang merasa lelah di jalan ilmu.
Tidak mengapa jika hari ini belum bisa memahami semua isi kitab. Tidak mengapa jika belum bisa hadir setiap sesi. Yang penting, kita tetap menjaga niat itu. Niat untuk terus belajar, niat untuk khatam, entah kapan.
Karena dalam setiap langkah kecil menuju ilmu, selalu ada kemungkinan keberkahan yang Allah bukakan. Mungkin dari satu paragraf yang kita pahami hari ini, Allah memberi kita petunjuk hidup. Mungkin dari satu sesi yang kita ikuti dengan kantuk, Allah mencatatnya sebagai amal yang mengalir hingga setelah ajal.
Maka, di antara sekian banyak niat baik yang ingin terus saya rawat sepanjang hidup, salah satunya adalah niat khatam. Niat untuk melanjutkan apa yang telah dimulai, untuk terus belajar meski perlahan, dan untuk tetap berada di jalan ilmu selama Allah mengizinkan. Bukan karena merasa mampu atau lebih tekun, tetapi karena saya percaya, berada di jalan ini—meski terseok sekalipun—lebih baik daripada berpaling darinya.
Kita mungkin tak tahu apakah akan sampai di garis khatam. Tapi jika hati tetap menyala dan langkah terus bergerak, maka di situlah harapan tumbuh. Semoga Allah menjaga niat-niat ini, memberinya umur panjang, dan menjadikannya jalan menuju rahmat-Nya yang luas. Aamiin.
Samarinda, 26 Maret 2025
Jama’ah RUHI