Oleh: Dr. Muhammad Ardiansyah
HUJJATUL ISLAM | Beberapa hari yang lalu, saya menulis status di WhatsApp (WA). Begini isinya “Khutbah Idul Fitri tahun ini baiknya bahas apa nih? Boleh usul kalau ada masalah yang bisa dibahas”. Tetiba, ada seorang kawan merespon status WA itu. “Menghidupkan ilmu-ilmu agama sebagai bekal menghadapi pasca Ramadhan” Begitu usulannya.
Ada beberapa usulan lain yang disampaikan kepada saya. Mulai dari tema yang serius, ilmiah sampai usulan yang agak guyon. Meskipun akhirnya saya menulis teks khutbah yang berbeda dengan usulan yang masuk. Bukan karena usulan itu tidak ada yang bagus. Tentu ada pertimbangan lain yang membuat saya harus menulis tema yang saya pilih.
Kemudian, saya tanya lagi kawan itu “Coba sebutkan problem keilmuan yang ada di bulan Ramadhan” Kali ini, kawan saya itu menjawab agak panjang. Ada beberapa masalah ilmu yang disampaikan berdasarkan pengetahuannya dan pengalamannya. Saya coba singkat jawaban kawan saya itu menjadi poin-poin berikut ini :
- Shaff shalat tarawih semakin sedikit. Agenda buka puasa bersama semakin banyak. Ditambah lagi kegiatan belanja menjelang hari raya.
- Ada yang tarawih tapi tidak shalat ba’diyyah isya’.
- Zakat maal yang terpusat di bulan Ramadhan. Padahal harta tiap orang memiliki nishab dan haul yang berbeda.
- Menjelang berbuka puasa seringkali kehilangan waktu untuk munajat karena sibuk menyiapkan menu buka puasa. Apalagi menunya lebih bervariasi dibanding bulan-bulan lainnya.
- Fenomena membawa anak kecil ke masjid tanpa dibarengi pendidikan adab sebelumnya.
- Seperti ada yang lupa bahwa Ramadhan ini adalah bulan riyādhah jiwa dan raga.
- Banyak berita yang tidak baik, khususnya terkait politik dan perilaku para politisi dan pejabat yang rusak.
Itu sebagian masalah ilmu yang disampaikan ke saya. Meski demikian, menurutnya ada satu hal yang membahagiakan. Sebagian orang yang dikenalnya mengalami perubahan yang baik. Jika sebelumnya puasa Ramadhan tapi tidak shalat fardhu, maka kali ini mereka puasa dan shalat. Bahkan mereka juga mau shalat tarawih dan aktif di beberapa kegiatan yang positif.
Apa yang disampaikan kawan saya ini bukan pepesan kosong. Saya dan mungkin kita juga menyaksikan dan mengalami hal yang sama. Bahkan saya juga mencatat beberapa masalah ilmu yang lainnya:
- Masih banyak orang yang tampak makan, minum, merokok di siang Ramadhan. Kalaupun ada udzur Syar’i, tentu tetap ada adabnya.
- Masih beredar video pembahasan fiqih yang salah tentang sahur. Akhirnya masih ada yang tetap makan meski sudah adzan subuh.
- Tarawih kilat juga masih terjadi di beberapa tempat. Bahkan jadi berita di luar negeri.
- Masalah zakat juga sepertinya masih banyak yang belum faham. Tentang yang wajib dizakati, ukuran zakatnya, waktunya, distribusinya dan sebagainya. Antara amil dan panitia zakat pun dianggap sama.
- Di dunia maya muncul fenomena trend Velocity.0op-[]
- Penetapan Idul Fitri dan pelaksanaan shalatnya juga banyak yang jauh dari ilmu. Atas nama Thariqat tertentu, mereka menetapkan waktu hari raya yang tidak sesuai syari’at. Sayangnya, saya belum mendengar teguran bahwa itu salah dari Menteri Agama ketika di sidang Itsbat. (Silakan koreksi jika saya salah).
- Satu hal lagi adalah masalah aurat. Banyak orang shalat Idul Fitri tapi tidak menutup aurat. Padahal, shalat Idul Fitri itu Sunnah, sedangkan menutup aurat itu wajib.
Tulisan ini bukan bertujuan mencari-cari kesalahan orang lain. Ini adalah bukti bahwa di bulan Ramadhan pun, perilaku yang tidak berdasarkan ilmu begitu menjamur. Kalau di bulan yang mulia saja begini, apalagi di bulan lainnya? Ini adalah PR bersama yang mesti kita selesaikan.
Ihyā ‘Ulūmiddīn : Satu Ikhtiyār Berbasis Ilmu
Mendengar nama Ihyā ‘Ulūmiddīn kita mesti teringat sosok Imam al-Ghazali. Ihyā ‘Ulūmiddīn ini memang magnus opus sang Hujjatul Islām. Sesuai namanya, kitab ini ditulis untuk membangkitkan kembali ilmu-ilmu agama. Mengapa? Karena Imam al-Ghazali menyaksikan banyak orang pada zamannya yang semakin jauh dari ilmu-ilmu agama. Karya agung ini mengandung empat puluh kitab yang ditulis secara sistematis. Dibuka dengan kitab ilmu dan ditutup dengan kitab ingat kematian (dzikr al-maut).
Kitab ilmu dalam Ihyā ‘Ulūmiddīn ini layak menjadi rujukan setiap Muslim yang ingin memahami ilmu secara komprehensif. Di dalamnya terdiri dari beberapa bab. Mulai dari keutamaan ilmu, belajar dan mengajar, makna ilmu, klasifikasi ilmu, adab ilmu, ciri ulama akhirat dan ulama dunia, sampai diakhiri dengan pembahasan akal. Kitab ilmu ini adalah asas untuk memahami ilmu-ilmu agama yang berikutnya. Karena setelah itu Imam al-Ghazali membahas masalah aqidah, syari’ah dan akhlaq. Jadi, kita diajak untuk memahami ajaran-ajaran pokok dalam Islam berdasarkan ilmu, bukan sekedar ikut-ikutan.
Setiap Muslim wajib menuntut ilmu. Tapi ilmu itu sangat banyak, sedangkan umur kita terbatas. Di sinilah Imam al-Ghazali menjelaskan klasifikasi ilmu menjadi ilmu yang fardhu ‘ain dan ilmu yang fardhu kifāyah. Ilmu yang fardhu ‘ain itu wajib atas setiap Muslim secara individu. Artinya, jika dia tidak mempelajarinya dan tidak memahaminya, maka dia berdosa. Adapun ilmu yang fardhu kifāyah itu wajib untuk sebagian saja. Artinya, jika sudah sebagian orang yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban untuk yang lainnya. Tapi jika tidak ada satu pun yang mempelajarinya, maka dosanya ditanggung oleh semua yang ada di sana.
Di dalam Ihyā ‘Ulūmiddīn, Imam al-Ghazali memberikan panduan terkait ilmu fardhu ‘ain. Menurut beliau, ilmu-ilmu fardhu ‘ain ini terkait dengan apa saja yang mesti kita kerjakan, apa saja yang mesti kita tinggalkan, dan terkait dengan kondisi jiwa yang mesti dijaga. Diantara yang wajib dikerjakan adalah shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat bagi yang punya harta, haji bagi yang mampu, dan sebagainya. Contoh yang wajib ditinggalkan adalah berbohong, berjudi, berzina, durhaka kepada orang tua, dan sebagainya. Tentang kondisi jiwa, yang buruk mesti dibuang. Lalu yang baik mesti ditanamkan. Itu sebagian kecil dari pembahasan ilmu di dalam kitab Ihyā ‘Ulūmiddīn. Sisanya butuh waktu yang lebih luas untuk membahasnya.
Jika dilihat dari masalah ilmu di bulan Ramadhan, kebanyakan terkait hal-hal yang fardhu ‘ain. Untuk perkara yang fardhu kifāyah, bisa ditangani oleh sebagian lainnya. Kesalahan dalam amal yang fardhu ‘ain ini tidak boleh dianggap sepele dan dipandang sebelah mata. Keselamatan setiap Muslim sangat bergantung kepada perkara yang fardhu ‘ain. Selain itu, tegaknya yang fardhu kifāyah juga berhubungan erat dengan kebaikan yang fardhu ‘ain.
Masalah ilmu yang terjadi di bulan Ramadhan ini juga bisa terjadi di luar Ramadhan. Bentuk masalahnya mungkin saja berbeda, karena ada sebagian amal yang khusus di bulan Ramadhan. Adapun akar masalahnya tetap sama, yaitu masalah ilmu. Jika dibiarkan terus, maka masalah ilmu ini bukan hanya membinasakan diri, tapi juga merobohkan agama. Seperti kata Syekh Abdul Qadir al-Jilani :
ذهاب دينكم بأربع أشياء:
(١) أنكم لاتعملون بما تعلمون؛
(٢) أنكم تعملون بما لا تعلمون؛
(٣) أنكم لا تتعلمون ما لا تعلمون فتبقوا جهالا؛
(٤) أنكم تمنعون الناس من تعلم ما لا يعلمون
“Hilangnya agama pada diri kalian disebabkan karena 4 (empat) perkara:
- Kalian tidak mengamalkan apa yang telah kalian ketahui.
- Kalian mengamalkan apa yang tidak kalian pahami (ketentuan hukumnya).
- Kalian tidak berusaha mencari tahu (belajar) apa yang tidak kalian ketahui sehingga kalian menjadi orang bodoh.
- Kalian menghalangi manusia dari upaya mereka mencari tahu (belajar) tentang apa yang tidak mereka ketahui”
Sebagai penutup tulisan, marilah kita bangkitkan kembali semangat belajar ilmu-ilmu agama. Tidak mesti langsung mempelajari kitab Ihyā ‘Ulūmiddīn, tapi belajarlah kepada para guru yang ahli secara tertib, sabar dan istiqamah. Nanti kita akan dibimbing untuk memahami agama dengan baik sesuai jenjangnya. Mulai dari level dasar terus meningkat ke jenjang berikutnya. In syā’a Allāh faham dan meraih ilmu yang bermanfaat. Jangan lupa berdoa, mudah-mudahan Allah SWT mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan yang akan datang, dengan ilmu yang lebih baik dari sekarang.
والله أعلم بالصواب.
30 Ramadhan 1446 H / 30 Maret 2025
Muhammad Ardiansyah
Pengasuh Ponpes at-Taqwa Depok
Pembina Rumah Ukhuwwah Hujjatul Islām (RUHI).