(Menelaah Pencarian Al-Ghazali Akan Hakikat Kebenaran)
Oleh: Nabil Abdurrahman
HUJJATUL ISLAM | (5/1/2025) Memperingati Haul Hujjatul Islam Imam al-Ghazali ke-941, Rumah Ukhuwah Hujjatul Islam (RUHI) mengundang Assoc. Prof. Syamsuddin Arif selaku pemateri. Mengenang perjalanan keilmuan Imam Al-Ghazali, pakar Filsafat Islam ini mengulas kitab Munqidz Minad Dhalal.
Kitab Munqidz Minad Dhalal sendiri merekam pengalaman Imam Al-Ghazali kala mengarungi krisis epistemologis dan pergolakan intelektual dalam proses mencari kebenaran, tentang hakikat dan tujuan ilmu, serta kerancuan dan tipu daya berbagai kelompok/sekte.
Meskipun berupa autobiografi, Munqidz Minad Dhalal telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia Timur dan Barat. Terdapat dalam bahasa Arab, Parsi, Melayu, Indonesia, maupun Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Hungaria, dan lain sebagainya.
Dalam pemaparan Dr. Syamsuddin Arif, ada dugaan/kesaksian bahwa apa yang ditulis Imam Al-Ghazali telah menginspirasi Rene Descartes dalam beberapa bagiannya, lantaran adanya kemiripan di antara pandangan keduanya.
Para cendikiawan Barat selanjutnya pun memiliki ketertarikan atas karya-karya maupun pandangan Imam al-Ghazali. The Confessions of al-Ghazali (Claud Field, M.A), The Faith and Practice of Al-Ghazali (W. Montgomery Watt), Al-Ghazzali Der Erreter Aus Dem Irrtum (bahasa Jerman), Al-Ghazzali De Redder Uit De Dwaling (bahasa Belanda), dan banyak lagi jumlahnya.
Selanjutnya, Dr. Syamsuddin Arif menerangkan, dalam pandangan Imam Al-Ghazali proses mengetahui/mendapat ilmu terdiri dari: talqin (didiktekan), taqlid (mengikuti otoritas), hingga tajribah (berdasarkan pengalaman/pengujian), dan tafkir (penalaran).
Namun tidak seluruh ilmu mencapai taraf ilmu yakin. Hakikat ilmu memiliki definisi tersendiri dan dan ciri-ciri yang khusus.
“Hakikat Ilmu ialah mengetahui dengan yakin jelas, dan tanpa keraguan sama sekali. Kriterianya ialah kejelasan, keyakinan, kemustahilan padanya salah atau meleset, serta menimbulkan rasa aman dari kekeliruan” tutur Dr. Syam, mengutip keterangan dalam Munqidz Minad Dhalal.
Oleh karena kriteria yang sulit ini, Imam Al-Ghazali mengalami masa dimana dirinya meragukan segala macam pengetahuan. Termasuk yang empiris (pengalaman indrawi yang kasat mata), maupun rasional (pembuktian akal secara geometris/matematis).
Sebab, pada keduanya bagi Imam al-Ghazali masih memiliki celah kekeliruan. Panca-indra boleh jadi salah menilai ketika melihat bulan lebih besar dari bintang, sebab sejatinya pada realita justru sebaliknya. Akal kita, tidak jarang tertipu ketika beranggapan apa yang dilihatnya dalam tidur adalah nyata. Sebab sejatinya apa yang dirasanya itu hanyalah mimpi, bukan dalam realita.
Menurut al-Ghazali, ada empat metode yang dilalui manusia dengan maksud mencapai kebenaran. (i). Metode nalar sebagaimana ahli kalam, (ii). Metode filsafat sebagaimana ahli sains, (iii). Metode esoteris sebagaimana syi’ah bathiniyyah, (iv). Metode tasawwuf sebagaimana para sufi, dan inilah jalan yang Imam Al-Ghazali pilih.
Ada tiga alasan mengapa Imam al-Ghazali berkesimpulan bahwa jalan tasawwuf lah jalan yang paling tinggi. (1). Ia adalah jalan yang mennyelaraskan ilmu dan amal, (2). Dengan jalan ini kita memangkas gundukan-gundukan jiwa serta membersihkannya dari berbagai kebiasaan dan sifat-sifat buruk, (3) Serta menuntut bagi yang berjalan di atasnya untuk mengosongkan batin dari apapun dan siapapun selain Allah serta mengisinya dengan dzikir.
Bagi al-Ghazali, ada bagian tertentu dari ilmu mereka itu yang tidak dapat dicapai dengan belajar semata. Melainkan mesti dengan “Dzauq” (pengalaman spiritual), mengalami “Hal” (keadaan) tersebut, dan adanya pergantian sifat (Tabadduli ash-shifat) dalam dirinya.
Dr. Syamsuddin Arif menganalogikan, pengetahuan seorang yang mendaki gunung hingga puncak serta merasakan langsung pengalaman tersebut, tentu berbeda dengan pengetahuan seorang yang hanya mendengar dari berita, atau yang hanya mengetahui dari foto-foto seorang pendaki gunung.
Imam Al-Ghazali memuji kalangan sufi, lantaran ilmu mereka bukan saja yang dicapai melalui indra atau penalaran. Melainkan mereka telah benar-benar berada dalam keadaan (ahwal) tersebut, dan melalui jalan-Nya.
Sedangkan Imam al-Ghazali, menyadari bahwa dirinya telah mempelajari berbagai ilmu rasional untuk mengantarkannya kepada iman yang kokoh kepada Allah, kenabian, dan akhirat. Yakni dengan dalil-dalil, argumentasi yang jumlahnya tidak sedikit.
Namun banyaknya ilmu tersebut dirasakan Imam al-Ghazali tidak dapat menyelematkan dirinya, ataupun menjamin kebahagiaan akhirat untuknya. Bahkan keraguan tersebut diakuinya menyebabkan krisis spiritual di dalam dirinya. Pikirannya menjadi kacau, hatinya tidak tenang, bahkan fisiknya sakit yang dokter terhebat pun tidak sanggup menyembuhkannya.
Puncaknya, Imam al-Ghazali memutuskan untuk melakukan uzlah serta khalwat selama sepuluh tahun lamanya. Al-Ghazali meninggalkan jabatan serta popularitasnya kala ia berada di puncaknya. Dirinya mengasingkan diri serta menghabiskan waktunya untuk beribadah dan memperbaiki niatnya.
“Jelaslah bagiku bahwa tidaklah menjamin kebahagiaan akhirat, kecuali dengan taqwa dan menahan hawa nafsu. Dan pangkal atas seluruhnya ialah dengan memutus keterikatan hati dari dunia, dengan berpaling dari kehidupan dunia serta mengkonsentrasikan jiwa untuk negeri akhirat yang abadi adanya”. (Imam Al-Ghazali, Munqidz Minad Dhalal). Wallahu a’lam bish-shawab.